Friday, August 29, 2014

PPKn : Faktor - Faktor yang mempengaruhi Penegakan HAM di Indonesia

Hak Asasi Manusia, sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, memiliki pengertian sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[1]
Hak Asasi Manusia dianggap sebagai hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yang tidak dapat diganggu gugat oleh pihak mana pun (siapa pun). HAM diberikan oleh Negara kepada setiap warga negaranya. Dalam dunia internasional, yang melibatkan negara-negara di dunia, dibuat suatu aturan atau instrumen yang mengatur tentang HAM. Dalam Negara, pada pengaturannya, terdapat pembatasan dan kewenangan Negara untuk mengatur HAM. Ketentuan mengenai perlindungan hak-hak asasi ini ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, batang tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, serta peraturan dan perundang-undangan lainnya.
Dalam pelaksanaannya, terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi suatu Negara atau suatu sistem dalam melaksanakan suatu aturan atau dalam menjalankan instrumen yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan HAM antara lain adalah:
  1. Kebudayaan
  2. Sistem Politik suatu Negara
  3. Hukum dan kebijakan yang diambil suatu Negara
  4. Diskriminasi
  5. Perang atau konflik yang terjadi
Faktor kebudyaan memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan Hak Asasi Manusia di suatu Bangsa dan Negara. Seperti yang terjadi di Indonesia, di mana sistem kebudyaan yang dianut oleh masyarakat adalah sistem kekeluargaan. Meskipun masih banyak budaya (adat dan istiadat) dari berbagai suku bangsa di Indonesia yang secara jelas mencerminkan praktek pelanggaran HAM, seperti yang terjadi di suku Minang Kabau tempo dulu yang mengharuskan anak perempuannya untuk menuruti kehendak para ninik mamak yang ingin menjodohkannya dengan pasangan yang disetujui, tetapi secara keseluruhan nilai-nilai adat dan istiadat setiap suku bangsa di Indonesia memiliki nilai-nilai kekeluargaan. Pada awal kemerdekaan, atau pada masyarakat pedesaan, pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia tidak banyak terjadi karena kesadaran akan nilai-nilai sosial budaya yang masih tinggi. Dalam masyarakat yang penuh dengan kekeluargaan, di mana rasa tenggang rasa dan kebersamaan masih tinggi, social control masih berjalan dengan baik, dan agama yang menjadi pegangan hidup, pelanggaran HAM tidak akan terjadi.[2]
Pelaksanaan HAM juga dipengaruhi oleh sistem politik yang dianut suatu Negara. Dalam hal ini, sistem politik yang demokratis dianggap sebagai sistem yang menjamin terlaksananya suatu perlindungan terhadan hak asasi manusia terutama hak-hak sipil dan politik. Kebebasan setiap warga negara untuk menyalurkan dan mengemukakan pendapat adalah salah satu bentuk dari hak asasi. Dalam Negara yang menganut sistem politik demokrasi, tidak terdapat intervensi atau tekanan terhadap warga negaranya agar mau melakukan suatu hal yang dikehendaki oleh Negara. Pelanggaran hak-hak sipil dan politik sering terjadi di negara-negara otoriter. Indoneisa pernah menerapkan sistem politik seperti ini, yang sangat jelas melanggar Hak Asasi Manusia, baik hak sipil dan politik, yaitu pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Contoh konkritnya adalah pembubaran DPR hasil pemilu 1955 oleh Presiden Soekarno tahun 1960, penolakan permohonan untuk mendirikan partai politik, pembekuan partai politik, serta pembrendelan majalah dan koran pada masa Orde Baru. [3]
Hukum dan kebijakan suatu negara memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran terhadap HAM yang sering terjadi disebabkan oleh kurangnya peraturan dan perundang-undangan yang memeberikan jaminan dan petunjuk dalam penyelesaian masalah yang sehubungan dengan HAM. Sejak era reformasi, telah dibentuk peraturan perundang-undangan tentang HAM, diantaranya adalah Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; dan Undang-Undang No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.[4] Namun demikian, terkadang kebijakan atau peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah bertentangan dengan HAM. Contoh kasus yang nyata adalah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi akibat diberlakukannya ketentuan tentang privatisasi dan komersialisasi air dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Berlakunya kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah ini menyebabkan hilangnya perlindungan terhadap hak masyarkat dalam mengakses dan memanfaatkan sumber daya air.
Praktek diskriminasi juga memberikan dampak terhadap pelanggaran HAM. Pelaksanaan hukum tentang Hak Asasi Manusia menjadi sangat bias di negara yang menerapkan praktek diskriminasi terhadap kelompok atau golongan tertentu. Misalnya saja praktek politik apartheid di Afrika Selatan yang mendiskriminasi kehidupan antara kaum kulit hiatam dengan kelompok kulit putih. Hal yang serupa juga masih terjadi di negara-negara saat ini, baik itu di negara maju atau negara berkembang, seperti di Amerika, permasalahan kulit hitam dan kulit putih masih terjadi di beberapa daerah dalam wilayah negaranya. Praktek diskriminasi, membedakan antara kulit putih dan kulit hitam ini menyebabkan kelompok yang terdiskriminasi (kulit hitam) tidak mendapat perlakuan dan hak yang sama sehingga mereka tidak dapat menjalankan hidup seperti manusia lainnya. Praktek seperti ini jelas menyalahi ketentuan dalam penegakan Hak Asasi Manusia yang telah dibuat.
Perang atau konflik juga menyebabkan terhambatnya pelaksanaan HAM yang dicita-citakan. Contoh konflik yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, seperti konflik di Maluku, Ambon, Poso, Aceh, dan lain-lain adalah suatu peristiwa yang jelas melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak untuk hidup serta menjalankannya dengan rasa aman. Contoh lain adalah perang kemerdekaan yang terjadi dimasa perjuangan dan revolusi, di mana rakyat mengangkat senjata untuk menuntut hak akan kemerdekaan, yang merupakan hak asasi setiap manusia dan segala bangsa di dunia. Terjadinya perang ini mendorong negara-negara di dunia untuk berkumpul dan merumuskan piagam PBB di San Fransisco, dengan harapan terciptanya pelaksanaan dan penegakan Hak Asasi Manusia dan perdamaian di seluruh dunia.
Perang atau konflik juga berpengaruh terhadap munculnya kemiskinan di berbagai bangsa dan negara. Negara-negara yang sedang atau telah selesai bertikai biasanya jatuh miskin karena kehabisan sumber daya yang dialokasikan untuk perang atau konflik. Atau dengan kata lain, bangsa atau negara, atau pihak yang sedang berada dalam konflik, terutama pihak yang didominasi oleh pihak yang memegang kendali terhadap konflik (kelompok terjajah didominasi oleh penajajah) mengalami kemiskinan yang diakibatkan oleh konflik yang terjadi tersebut. Kelaparan dan penyakit menjadi masalah utama. Dengan munculnya kemiskinan ini memberikan pengaruh yang besar pula terhadap terlaksananya Hak Asasi Manusia. Contohnya adalah bagi anak-anak yang hidup dalam kemiskinan, paling mudah diingkari hak-haknya atas pelayanan dasar, termasuk pendidikan dan kekerasan.[5] Praktek seperti ini terjadi pada masa perjuangan melawan penjajah Belanda, di mana kaum pribumi yang hidup miskin tidak mendapatkan hak yang sama dengan kaum ningrat, yaitu hak untuk sekolah.

No comments:

Post a Comment